Senin, 05 November 2007

setengah jiwa, hati, dan rasio

Setengah Jiwa, Hati, dan Rasio

Aq melihat dia terdiam, duduk seorang diri di bangku taman kota. Dia memang begitu, kira-kira satu tahun belakangan aku mencoba mengenalnya, tapi tak ada perubahan dalam dirinya. Tetap menyendiri dan tak berminat ditemani oleh siapapun kecuali mp3, soft drink, buku kecil dan pensil mekanik.

Orang-orang menganggapnya terlalu menutup diri. Bahkan menjurus pada autis. Tapi bagiku, dia hanya belum menemukan tempat bergaul yang nyaman untuknya.

Seperti spasi dalam Filosofi Kopi yang ditulis oleh penulis idolanya, spasi selalu menjadi alasan baginya untuk berkilah saat ditanyakan masalah ketertutupan dirinya.

“Biar ada ruang dan tak terlalu mengikat”
Itu adalah kata-kata yang selalu dia ucapkan. Kepada dirinya sendiri tentunya.

Aku hampir bisa membaca pikirannya, namun sayang, dengan tiba-tiba dia kembali asik dengan pikiran dan dunianya sendiri. Aku tak habis pikir dengan kelakuannya. Lama-kelamaan aku ikut-ikutan menganggapnya aneh, tertutup, bahkan autis. Padahal tak seharusnya aku berpikiran seperti itu tentang dia.

Setelah mengenalnya kira-kira satu tahun belakangan, ada satu kebiasaannya di rumah yang dapat aku “curi” tahu. Dia senang sekali duduk menatap ke arah luar jendela kamar. Dia memegang gitar dan sesekali menuliskan sesuatu pada buku kecil yang biasa dia bawa saat duduk-duduk di taman kota.

Aku berasumsi bahwa dia sedang mengolah lagu. Mungkin tentang perasaannya atau tentang apapun yang dia suka. Hanya itu yang dapat aku “curi” tahu. Sehabis menyaksikan kelakuannya itu biasanya aku akan lebih berasumsi liar. Aku menerka-nerka. Apakah dia merasa kesepian, butuh teman, atau sedang menikmati waktu lengangnya? Tapi asumsiku tentang tiu diingkari oleh asumsi baru yang aku bentuk sendiri.
Dia sedang menikmati perjalanan hidupnya. Dia menikmati kesendiriannya. Dan dia menikmati ke-autisan-nya.
Terkadang aku ingin masuk dalam kehidupan dan pikirannya. Aku ingin mengembalikan semangat dan kehangatan terhadap makhluk lain yang disebut manusia dalam dirinya lagi. Yang aku tahu dulu pernah dan selalu tertanam dalam benaknya.

Keinginan itu lagi-lagi kandas disaat aku kalah oleh kekerasan hati setengah jiwa, hati dan rasionya dalam menutup diri, yang perlahan tumbuh dan menggerogoti kecerahan raganya.

Entah apa yang terjadi padanya. Dia menciptakan spasi yang terlalu jauh dan luas terhadap makhluk lain yang disebut manusia.

Aku tetap melihat dia terdiam dan duduk seorang diri di bangku taman kota. Tak ada yang berubah. Masih ada mp3, soft drink, buku kecil, dan pensil mekanik yang sangat mungkin dianggapnya sebagai sahabat karib yang mengerti dia tanpa banyak bicara.

Setelah mengenal dia kira-kira satu tahun belakangan ini, aku tahu banyak hal ( yang masih absurd ) tentang dia. Dia berada di tengah keramaian, dan duduk satu meja bersama banyak orang. Tapi matanya menatap kosong pada satu titik. Pikirannya entah kemana. Dia seperti memiliki dunianya sendiri, yang berbeda dengan makhluk lain yang disebut manusia.

Satu hal yang membuatku heran, bisa-bisanya dia berkonsentrasi dengan dunianya disaat hiruk-pikuk keramaian benar-benar dekat dengan dia. Aku sempat kagum dengan semua itu.

Arrgghh…….
Sudahlah. Biarkan saja dia menikmati hidupnya yang seperti itu. Mungkin saat ini hanya itu yang dapat mebuatnya berarti, senang, dan nyaman.

Mungkin juga kalian semua bingung mengapa aku sangat sering memperhatikan dia. Siapakah aku ini???

Aku peduli padanya karena aku adalah setengah jiwanya. Aku adalah setengah hatinya. Aku juga setengah rasionya yang dulu pernah merasakan bagaimana hangatnya dia terhadap makhluk lain yang disebut manusia. Yang telah hilang dan berganti menjadi ketertutupan dalam ke-autisan yang dia alami satu tahun belakangan ini.

0 komentar: