Kamis, 15 November 2007

mengagumkan dalam pemikiran bidang akademik tak menjamin bijak dalam menyikapi hidup

Jumat, 09 November 2007

HegeL......HegeL.....

Kamis, 08 November 2007

karenaku sayang papa

malam berbalut hujan, kelam langit berhasil membuat mendung bergelayut di hatiku
lidah ini kelu, tubuh ini juga kaku
inikah yang dinamakan kekosongan jiwa?

mataku terpejam, namun bukan kantuk yang kurasa
pikiranku melayang di luar batas imajinasiku..

sudah tak ada gurau dan canda
hanya lorong hitam menakutkan yang ada di hadapanku
aku berteriak dalam kelu lidahku
aku memberontak dalam kaku tubuhku
namun aku tetap tak bisa melakukan apa-apa...

seketika pagi menjelang, dan aku pun terbangun dari mimpi buruk itu
aku melangkah keluar kamar, tak ada sedikitpun ketenangan yang kurasakan, tak ada lagi kedamaian menyelimuti kalbuku
aku tersadar, aku telah kehilangan sosok yang sangat kubanggakan!!!

papa..
lelaki sejati yang mengajarkanku banyak hal tentang hidup
lelaki sejati yang menjadi motivasi untuk menggapai segala angan-anganku
lelaki sejati yang mengajarkanku bagaimana cara menendang bola, bagaimana berolahraga yang benar, bagaimana memukul bola pimpong saat akan mematikan lawan
lelaki sejati yang mengajarkanku bagaimana untuk tetap berdiri dalam kungkungan, belenggu, dan bertahan dalam ketiadaan...

kini lelaki sejati itu telah pergi, bahkan disaat aku tak bisa mendampinginya melepas nyawa!!!
aku hancur, aku terluka, bahkan luka itu sangat dalam menusuk hatiku
ingin rasanya aku menghentikan hidup, meratapi kepedihan berkepanjangan
aku merasa tidak memiliki kekuatan apapun untuk berdiri...

namun di saat kulangkahkan kaki menuju kamar yang dulu kau tempati, aku merasa kau hadir dan seolah berucap kepadaku untuk tetap meneruskan hidup, kau menginginkan aku untuk tetap kuat demi kau, aku, dan demi semua...

aku tak sanggup memasuki kamar itu sebelum aku memiliki semua yang kau inginkan
aku memutuskan untuk kembali ke kamarku, dan meninggalkan bayanganmu yang tetap tersenyum melihat aku meninggalkanmu..

di kamarku aku menangis sepuas-puasnya, lalu segera mengumpulkan kekuatan untuk menjadi seseorang yang kuat, dan aku berhasil!!!
aku berlari keluar amar bermaksud ingin menemui bayanganmu
namun di saat aku ingin mengutarakan bahwa aku mampu, kau pergi begitu saja dengan senyumanmu yang paling indah yang pernah aku lihat...

aku tidak menangisimu lagi, aku tidak menyesali kepergianmu lagi, dan aku berjanji untuk kuat
semua ini untukmu papa.. dan semua ini kuusahakan karenaku sayang papa....

kata orang tapi bagiku..

kata orang persahabatan itu saling mengerti
kata orang persahabatan itu saling memahami
kata orang persahabatan itu saling berbagi
kata orang persahabatan itu saling menyayangi,
bahagia melihat sahabat senang dan ikut menenangis dikala sahabat terluka...

tapi bagiku itu semua hanya teori!!!
hanya kamuflase dalam relasi antar manusia yang mengatas namakan persahabatan..

untukku,
persahabatan itu adalah saling memaki (ketika sahabatmu melakukan kesalahan, caci makimulah yang menyadarkannya atas segala kesalahan itu)
persahabatan itu adalah simbiosis mutualisme (dimana sahabatmu menemukan kesusahan dan kau memiliki kebahagiaan, maka ia akan meminta separuh kebahagiaanmu)
persahabatan itu adalah saling mengoreksi (dimana sahabatmu merasa tinggi, koreksimulah yang akan melindunginya dari kejatuhan yang menyakitkan)
persahabatan itu adalah suatu hal yang mengarah pada kemunafikan (dimana saat sahabatmu menceritakan keluh kesahnya, kemunafikanmulah[seolah tau tentang segala hal padahal belum tentu bisa dan kuat menghadapi situasi sulit] yang membuatnya tenang)
persahabatan itu adalah tetap tertawa disaat melihat sahabat menangis, karena disinilah posisi kita sebagai sahabat sangat dibutuhkan.

dan aku menghalalkan itu, karena tak ada sesuatu yang sangat membahagiakan kecuali ada, melindungi, dan dilindungi oleh seseorang yang pantas disebut sahabat....
aku mencari siapa aku
aku mencari bagaimana aku
aku mencari apa yang menjadi keinginanku
aku mencari apa yang menjadikan aku...

aku tak menemukan itu dalam perjalanan hidupku
aku tak menemukan itu dalam tiap lembar buku yang kubaca
aku tak menemukan itu dalam kitab yang kuyakini
aku tak menemukan itu dalam jawaban ayah, ibu, kakak, adik, saudara, dan teman-teman...

aku memikirkan siapa aku
aku memikirkan bagaimana aku
aku memikirkan apa yang menjadi keinginanku
aku memikirkan apa yang menjadikan aku...

aku tetap tak menemukan siapa, bagaimana, apa, dan apa aku ini??

Rabu, 07 November 2007

sesuatu yang disebut "perempuan"

perempuan...
kenapa hanya tentang perasaan?
kenapa hanya tentang pengabdian?
kenapa hanya tentang ketidaksetaraan?
kenapa hanya tentang analogi manusia dan bunga?

perempuan...
terlalu indahkah hingga hanya digunakan sebagai pemuas nafsu?
terlalu lemahkah hingga hanya diperkenankan berdiam diri?
terlalu patuhkah hingga hanya dimanfaatkan sebagai pengabdi?

perempuan...
sudah banyak yang berteriak meminta penyetaraan bagimu,
sudah banyak pula pejuang-pejuang yang menyuarakan aspirasimu,
sudah banyak pula pembela-pembelamu yang menuntut kesamaan hak dalam berbagai bidang...

perempuan...
memang tak pernah lelah walau hidup dalam belenggu,
memang tak pernah menyerah walau tinggal di dunia yang terus menyepelekanmu,
memang tak pernah kehabisan air mata untuk menangisi kepedihanmu...

perempuan...
mulailah bergerak maju untuk berjuang bersama-sama,
mulailah berlari untuk mengejar ketertinggalanmu,
mulailah bersuara untuk melegitimasi eksistensimu,
mulailah melepaskan segala belenggu dalam hidupmu...

perempuan...
berjuanglah atas nama keadilan,
bertarunglah atas nama pembelaan,
dan bersatulah atas nama keberadaan!!!!!

Senin, 05 November 2007

jika

jika mata ini masih bisa terbuka, tunggu saja saat aku melihat lalu menemukanmu
jika bibir ini masih bisa berucap, tunggu saja saat aku memanggilmu
jika tangan ini masih bisa merangkul, tunggu saja saat aku menyambut tanganmu
jika jiwa ini masih bisa bersamamu, tunggu saja saat aku berdiri tepat di sampingmu
jika waktu masih bisa mengatur hidup(?),tunggu saja saat waktu itu sendiri memisahkan kita
karena tak ada sesuatu yang selamanya dapat bersama di dunia ini
namun satu hal yang pasti, selama hidung dan paru-paruku masih bekerjasama untuk melindungi nyawaku aku takkan pernah ragu untuk menjamin bahwa kau adalah sahabat terbaik yang pernah aku miliki.....

entah apa judulnya...isenk doank koq,haha....

Seandainya luka hati ini bisa mengering jika kuteteskan dengan betadine.
Sendainya perih ini bisa kuhilangkan dengan menempelkan tensoplast.
Seandainya gejolak bathin ini bisa kuredakan dengan mendekap erat boneka kesayanganku…

Aku seolah tak sanggup menahan segala beban ini, ingin berlari namun kakiku tak cukup kuat menopang tubuh yang terlanjur lemah oleh kelelahan..
Aku seolah tak sanggup meredam tangis, ingin kuhentikan namun kesedihan itu seolah meluap bagai air bah yang datang tak kenal waktu.

Aku hanya manusia lemah…. Yang terkadang butuh ruang untuk menenangkan diri, sebentaaaaar saja….
Aku ini hanya makhluk tanpa daya… yang terkadang butuh waktu untuk mengumpulkan lagi energi dan tenaga untuk menghadapi berbagai polemik kehidupan….

setengah jiwa, hati, dan rasio

Setengah Jiwa, Hati, dan Rasio

Aq melihat dia terdiam, duduk seorang diri di bangku taman kota. Dia memang begitu, kira-kira satu tahun belakangan aku mencoba mengenalnya, tapi tak ada perubahan dalam dirinya. Tetap menyendiri dan tak berminat ditemani oleh siapapun kecuali mp3, soft drink, buku kecil dan pensil mekanik.

Orang-orang menganggapnya terlalu menutup diri. Bahkan menjurus pada autis. Tapi bagiku, dia hanya belum menemukan tempat bergaul yang nyaman untuknya.

Seperti spasi dalam Filosofi Kopi yang ditulis oleh penulis idolanya, spasi selalu menjadi alasan baginya untuk berkilah saat ditanyakan masalah ketertutupan dirinya.

“Biar ada ruang dan tak terlalu mengikat”
Itu adalah kata-kata yang selalu dia ucapkan. Kepada dirinya sendiri tentunya.

Aku hampir bisa membaca pikirannya, namun sayang, dengan tiba-tiba dia kembali asik dengan pikiran dan dunianya sendiri. Aku tak habis pikir dengan kelakuannya. Lama-kelamaan aku ikut-ikutan menganggapnya aneh, tertutup, bahkan autis. Padahal tak seharusnya aku berpikiran seperti itu tentang dia.

Setelah mengenalnya kira-kira satu tahun belakangan, ada satu kebiasaannya di rumah yang dapat aku “curi” tahu. Dia senang sekali duduk menatap ke arah luar jendela kamar. Dia memegang gitar dan sesekali menuliskan sesuatu pada buku kecil yang biasa dia bawa saat duduk-duduk di taman kota.

Aku berasumsi bahwa dia sedang mengolah lagu. Mungkin tentang perasaannya atau tentang apapun yang dia suka. Hanya itu yang dapat aku “curi” tahu. Sehabis menyaksikan kelakuannya itu biasanya aku akan lebih berasumsi liar. Aku menerka-nerka. Apakah dia merasa kesepian, butuh teman, atau sedang menikmati waktu lengangnya? Tapi asumsiku tentang tiu diingkari oleh asumsi baru yang aku bentuk sendiri.
Dia sedang menikmati perjalanan hidupnya. Dia menikmati kesendiriannya. Dan dia menikmati ke-autisan-nya.
Terkadang aku ingin masuk dalam kehidupan dan pikirannya. Aku ingin mengembalikan semangat dan kehangatan terhadap makhluk lain yang disebut manusia dalam dirinya lagi. Yang aku tahu dulu pernah dan selalu tertanam dalam benaknya.

Keinginan itu lagi-lagi kandas disaat aku kalah oleh kekerasan hati setengah jiwa, hati dan rasionya dalam menutup diri, yang perlahan tumbuh dan menggerogoti kecerahan raganya.

Entah apa yang terjadi padanya. Dia menciptakan spasi yang terlalu jauh dan luas terhadap makhluk lain yang disebut manusia.

Aku tetap melihat dia terdiam dan duduk seorang diri di bangku taman kota. Tak ada yang berubah. Masih ada mp3, soft drink, buku kecil, dan pensil mekanik yang sangat mungkin dianggapnya sebagai sahabat karib yang mengerti dia tanpa banyak bicara.

Setelah mengenal dia kira-kira satu tahun belakangan ini, aku tahu banyak hal ( yang masih absurd ) tentang dia. Dia berada di tengah keramaian, dan duduk satu meja bersama banyak orang. Tapi matanya menatap kosong pada satu titik. Pikirannya entah kemana. Dia seperti memiliki dunianya sendiri, yang berbeda dengan makhluk lain yang disebut manusia.

Satu hal yang membuatku heran, bisa-bisanya dia berkonsentrasi dengan dunianya disaat hiruk-pikuk keramaian benar-benar dekat dengan dia. Aku sempat kagum dengan semua itu.

Arrgghh…….
Sudahlah. Biarkan saja dia menikmati hidupnya yang seperti itu. Mungkin saat ini hanya itu yang dapat mebuatnya berarti, senang, dan nyaman.

Mungkin juga kalian semua bingung mengapa aku sangat sering memperhatikan dia. Siapakah aku ini???

Aku peduli padanya karena aku adalah setengah jiwanya. Aku adalah setengah hatinya. Aku juga setengah rasionya yang dulu pernah merasakan bagaimana hangatnya dia terhadap makhluk lain yang disebut manusia. Yang telah hilang dan berganti menjadi ketertutupan dalam ke-autisan yang dia alami satu tahun belakangan ini.

bintang cuma satu

BINTANG CUMA SATU
by : farah nuhemma

Senja selalu kuanggap sebagai pengantar bekas-bekas kegelisahan pagi dan siang hariku pada malam hari yang menyenangkan. Aku tak terlalu suka pagi dan siang hari. Menurutku, pagi dan siang hari hanyalah kesia-siaan yang merepotkan. Kita dituntut untuk bangun dari tidur yang menyenangkan, dan dipaksa untuk melakukan aktifitas yang kurang menarik.

Berbeda dengan senja dan malam hari. Senja itu memberi ketenangan jiwa, bias cahaya mentari yang menimbulkan efek oranye di langit membuat hampir siapapun yang menikmatinya merasa berada pada suatu tempat yang benar-benar sempurna sebagai media pemberi kedamaian. Sedangkan malam adalah awal kehidupan baru di hari berikutnya. Dengan hiasan bintang dan cahaya bulan, malam memberikan sensasi ketenangan dalam berbagai hal.

Aku terbiasa menikmati senja di salah satu kafe kecil di kotaku, setidaknya di sana aku bisa sedikit melupakan kisah cintaku dengan mantan-mantanku yang sudah tak jelas bagaimana kabarnya, namun masih melekat erat di otakku. Di sana aku bisa bercanda dengan senja sambil menunggu datangnya malam hari yang menawarkan keindahan bintang dipadukan dengan cahaya bulan. Pertengahan malam aku akan kembali ke rumah dan meneruskan menikmati bintang di atap rumah hingga bintang cuma satu.

Sejarah ketertarikanku terhadap senja dan malam hari hingga bintang cuma satu adalah saat aku mengenal sesosok lelaki dengan rasionalitas yang tinggi, yang membuatku lupa akan permasalahan yang kuhadapi. Aku baru menyadari keindahan senja setelah mendengar kata-kata yang terlontar tanpa sengaja dari bibirnya saat menyaksikan senja di tepi danau.

Saat itu, aku tanpa sengaja bertemu dengannya di tepi danau. Kami saling berbagi cerita seraya bercengkrama sampai tiba-tiba dia bergumam.
“senja ini indah, pasti nanti malam akan lebih indah”.
Sejak gumaman tak sengaja itu terdengar olehku, entah mengapa aku jadi menyukai senja dan akhirnya malam hari pun menjadi salah satu ketertarikanku.

Sampai hari ini aku masih melakukan ritual menatap langit malam hingga bintang Cuma satu. Dan aku berhasil mengesampingkan masalah-masalah yang menghampiriku. Aku akan menunggu sampai bintang-bintang yang lainnya pergi, dan membiarkanku berkencan dengan satu bintang terindah yang setia menempel pada dinding langit malam. Aku merasa damai berkencan dengannya, dalam diam, kebisuan, dan lembutnya bisikan angin malam. Aku merasa benar-benar utuh. Entahlah, mungkin ketertarikanku terhadap malam membuatku menjadi manusia setengah autis di malam hari.

Sempat beberapa pertanyaan besar menggelayuti pikiranku. Apa yang aku cari dalam remangnya malam?, apa yang ingin aku temukan saat bintang Cuma satu?, dan apa yang akan aku dapatkan dari itu semua?. Aku sendiripun bingung mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang kadang menggangguku itu.

Pernah suatu kali aku menanyakan itu dengan salah satu temanku. Bukan jawaban yang kudapat tapi senyuman yang memberi kesan meremehkanku. Bahkan temanku itu menganggapku manusia autis yang benar-benar kurang kerjaan. Ingin sekali rasanya aku mendorong kepala temanku itu agar ia sadar betapa menyenangkannya menikmati senja dan menanti malam hingga bintang Cuma satu.

Lelah dengan keadaan seperti itu perlahan aku mulai mencari jawabannya. Sendiri! Ya..sendiri, karena aku tak mau dibilang aneh oleh mereka yang tidak mengerti semua tentangku, senja, dan malam hari hingga bintang Cuma satu.

Suatu hari, aku duduk di atap rumah sejak senja datang untuk menunggu malam hingga bintang Cuma satu. Aku bertekad untuk menemukan jawabannya malam ini juga. Aku terduduk sambil memetik gitar. Benar-benar syahdu malam ini. Tak lama kemudian, aku meletakkan gitar dan mengambil buku kecil yang tergeletak di sebelahku. Aku mulai menulis di buku itu dan seperti biasa akan lama terhanyut hingga melupakan aktifitas yang lain.

Senja……
Terima kasih karena selalu menemaniku menanti malam. Terimakasih karena telah mengantarkanku menatap langit hingga bintang Cuma satu.
Aku bangga bisa menjadi orang yang mampu menunggu bintang-bintang lain pergi dan akhirnya dapat berkencan dengan satu bintang terindah.
Tapi aku sadar itu semu. Aku sadar itu semua maya. Tidak mungkin aku dapat berkencan dengan bintang sesungguhnya dalam arti manusia.
Aku menginginkan bintang yang Cuma satu itu menjelma menjadi sosok dia yang kutemui di tepi danau waktu itu.
Aku menginginkan bintang yang Cuma satu itu menjelma menjadi sosok dia yang tanpa sengaja bergumam tentang senja dan malam hari yang dapat membuatku melakukan ini semua…

Aku letih, buku itu kugeletakkan kembali di sampingku. Aku memutuskan untuk berkhayal saja sembari menunggu bintang Cuma satu. Belum sempat berkhayal terlalu jauh, entah naluri mana yang bekerja, reflek aku mengambil buku kecil itu dan membaca ulang apa yang telah kutulis sebelumnya. Tiba-tiba aku tersadar, bintang Cuma satu yang selalu kutunggu itu adalah dia, lelaki yang kutemui di tepi danau beberapa bulan lalu. Lelaki yang tanpa sengaja menggumamkan beberapa kata yang mampu menyihirku untuk melakukan ritual senja hingga malam dan menanti hingga bintang Cuma satu.
Ya Tuhan……. Mengapa baru sekarang aku menyadarinya? Aku tak mungkin memilikinya, aku tak mungkin bisa terus berjalan beriringan dengannya, karena dia akan memiliki seseorang yang lain, yang mungkin selalu menemaninya menikmati senja dan menunggu malam hingga bintang Cuma satu. Hhh…..aku rasa aku akan kehilangan dia. Dan aku yakin sekali atas itu.


***
Aku memutar kembali memori saat masih sering bercengkrama bersama dia. Setidaknya ini adalah ritual terakhirku. Setelah pertemuan tak sengaja dengannya itu, aku selalu menanti senja dan malam hingga bintang Cuma satu. Dimana dia selalu menceritakan keindahan senja dan malam hari hingga bintang Cuma satu dengan penggambaran yang benar-benar nyata buatku. Dimana dia selalu memberikan pandangan bahwa hampir semua permasalahan dapat kutinggalkan sejenak saat menikmati senja dan malam hari hingga bintang Cuma satu. Dan itu terbukti ampuh.

Bahwa aku mebenci pagi dan siang hari adalah benar, tetapi rasa benci itu sedikit berkurang saat pagi dan siang hariku kulalui bersama dia. Aku jadi sedikit bersemangat untuk bangun di pagi hari, karena akan bertemu dan bercengkrama dengan bintang yang akan menjadi mentari pada pagi dan siang hariku. Dia benar-benar mempengaruhi hidupku. Tidak terlalu hiperbolis jika kukatakan dia satu-satunya orang yang mampu menyelami pikiranku begitu dalam. Aku menganggapnya sebagai seorang “teladan” yang pantas aku contoh. Apakah itu terlalu hiperbolis???

Suatu waktu saat aku berjalan-jalan bersamanya, dia menceritakan suatu tempat yang indah untuk menikmati senja dan malam hari hingga bintang Cuma satu. Tempat itu di suatu kota kecil katanya. Dia pun berjanji untuk mengajakku ke sana. Aku bahagia sekali, aku merasa akan menikmati senja dan menanti malam hari hingga bintang Cuma satu yang nyaris sempurna.

Aku tak sabar menunggu saat aku dan dia bisa pergi ke tempat itu. Kira-kira dua minggu setelah janjinya, dia mengajakku ke tempat itu. Perjalanan tak terlalu panjang dan sama sekali tidak melelahkan. Sesampainya di tempat pemberhentian, waktu kami habiskan untuk berbincang tentang segala hal. Tanpa terasa senja telah memberikan sinyal kemunculannya. Kami sontak terdiam dan langsung terhanyut dalam dunia masing-masing. kegiatan seperti inilah yang kami sebut dengan autis.

Aku sangat menikmati malam ini. Ditambah dengan kehadiran dia, ritual menanti malam hingga bintang Cuma satuku terasa sangat berkesan. Aku menatap langit, memejamkan mata, lalu mulai menanti malam hingga bintang Cuma satu. Di sela penantian itu aku mencuri pandang ke bawah. Aku melihat bintang yang lain. Berkelap-kelip indah memberikan nuansa meriah.

“itu lampu-lampu yang berasal dari kota salam” dia bergumam seolah tahu apa yang sedang kupikirkan.
“indah sekali…….” Hanya itu kata-kata yang dapat kuucap untuk merespon pernyataannya tadi.

Tak terasa kami telah banyak menghabiskan waktu di tempat ini. Dia mengingatkanku untuk kembali menatap langit.
“sebentar lagi bintang yang lain akan pergi” secara implicit dia mengingatkanku atas langit kembali.
Aku hanya diam dan mengubah arah pandanganku. Waktu berlalu dalam diam. Tak lama kemudian yang kami tunggu-tunggu tlah tiba. Di langit hanya ada satu bintang.

Aku terkejut saat dia tiba-tiba berbicara.
“hey, kamu lihat? Di langit hanya ada satu bintang. Tapi bukankah kita berdua menginginkan bintang itu? Dan aku tak mau membagi bintang itu pada siapapun, aku ingin bintang yang utuh, yang nanti akan kubagi dengan orang yang juga utuh mengisi hidupku.”
ujarnya dengan nada sangat serius.
“mmm…. Kamu benar, berarti harus ada salah satu yang mengalah”
aku menjawab dengan tegar, padahal aku tahu, mungkin bintang itu akan dia persembahkan pada seseorang yang sangat berarti dalam hidupnya, sehingga dia tidak mau berbagi dengan orang lain, terlebih aku.
Kami menghabiskan malam itu dalam diam. Maaf, maksudku aku yang terlalu banyak terdiam.

Aku bingung. Mengapa aku merasa sakit hati mendengar kata-katanya tadi. Kata-kata jujur yang keluar dari bibirnya itu membuatku menangkap kesan bahwa ada seseorang yang sedang dia pikirkan. Tapi siapa?? Aku?? Orang lain?? Atau bahkan dirinya sendiri??

Hingga suatu hari aku memutuskan untuk tidak bertemu dengan dia lagi. Aku mulai menikmati senja dan menanti malam hingga bintang Cuma satu seorang diri di atap rumahku. Aku mencoba melupakan segala tentang dia. Tapi terasa sangat sulit buatku. Akhirnya aku memutuskan untuk mengingat senja dan menanti malam hingga bintang Cuma satu saja sebagai bagian dari perjalananku bersama dia.


***
Aku tersentak dari lamunan itu dan mulai beranjak, membereskan buku dan mengambil gitar lalu berdiri untuk meninggalkan atap rumah. Sejak malam itu, aku berjanji untuk tidak menikmati senja dan menanti malam hingga bintang Cuma satu lagi. Karena bintangku itu tidak akan dan tidak mungkin dapat mengencaniku. Aku akan menikmati perasaan ini, aku takkan memilikinya, tapi setidaknya aku pernah punya dia dalam setiap senja dan malam hari hingga BINTANG CUMA SATU.

Minggu, 04 November 2007

.........

akhirnyah...............