BINTANG CUMA SATU
by : farah nuhemma
Senja selalu kuanggap sebagai pengantar bekas-bekas kegelisahan pagi dan siang hariku pada malam hari yang menyenangkan. Aku tak terlalu suka pagi dan siang hari. Menurutku, pagi dan siang hari hanyalah kesia-siaan yang merepotkan. Kita dituntut untuk bangun dari tidur yang menyenangkan, dan dipaksa untuk melakukan aktifitas yang kurang menarik.
Berbeda dengan senja dan malam hari. Senja itu memberi ketenangan jiwa, bias cahaya mentari yang menimbulkan efek oranye di langit membuat hampir siapapun yang menikmatinya merasa berada pada suatu tempat yang benar-benar sempurna sebagai media pemberi kedamaian. Sedangkan malam adalah awal kehidupan baru di hari berikutnya. Dengan hiasan bintang dan cahaya bulan, malam memberikan sensasi ketenangan dalam berbagai hal.
Aku terbiasa menikmati senja di salah satu kafe kecil di kotaku, setidaknya di sana aku bisa sedikit melupakan kisah cintaku dengan mantan-mantanku yang sudah tak jelas bagaimana kabarnya, namun masih melekat erat di otakku. Di sana aku bisa bercanda dengan senja sambil menunggu datangnya malam hari yang menawarkan keindahan bintang dipadukan dengan cahaya bulan. Pertengahan malam aku akan kembali ke rumah dan meneruskan menikmati bintang di atap rumah hingga bintang cuma satu.
Sejarah ketertarikanku terhadap senja dan malam hari hingga bintang cuma satu adalah saat aku mengenal sesosok lelaki dengan rasionalitas yang tinggi, yang membuatku lupa akan permasalahan yang kuhadapi. Aku baru menyadari keindahan senja setelah mendengar kata-kata yang terlontar tanpa sengaja dari bibirnya saat menyaksikan senja di tepi danau.
Saat itu, aku tanpa sengaja bertemu dengannya di tepi danau. Kami saling berbagi cerita seraya bercengkrama sampai tiba-tiba dia bergumam.
“senja ini indah, pasti nanti malam akan lebih indah”.
Sejak gumaman tak sengaja itu terdengar olehku, entah mengapa aku jadi menyukai senja dan akhirnya malam hari pun menjadi salah satu ketertarikanku.
Sampai hari ini aku masih melakukan ritual menatap langit malam hingga bintang Cuma satu. Dan aku berhasil mengesampingkan masalah-masalah yang menghampiriku. Aku akan menunggu sampai bintang-bintang yang lainnya pergi, dan membiarkanku berkencan dengan satu bintang terindah yang setia menempel pada dinding langit malam. Aku merasa damai berkencan dengannya, dalam diam, kebisuan, dan lembutnya bisikan angin malam. Aku merasa benar-benar utuh. Entahlah, mungkin ketertarikanku terhadap malam membuatku menjadi manusia setengah autis di malam hari.
Sempat beberapa pertanyaan besar menggelayuti pikiranku. Apa yang aku cari dalam remangnya malam?, apa yang ingin aku temukan saat bintang Cuma satu?, dan apa yang akan aku dapatkan dari itu semua?. Aku sendiripun bingung mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang kadang menggangguku itu.
Pernah suatu kali aku menanyakan itu dengan salah satu temanku. Bukan jawaban yang kudapat tapi senyuman yang memberi kesan meremehkanku. Bahkan temanku itu menganggapku manusia autis yang benar-benar kurang kerjaan. Ingin sekali rasanya aku mendorong kepala temanku itu agar ia sadar betapa menyenangkannya menikmati senja dan menanti malam hingga bintang Cuma satu.
Lelah dengan keadaan seperti itu perlahan aku mulai mencari jawabannya. Sendiri! Ya..sendiri, karena aku tak mau dibilang aneh oleh mereka yang tidak mengerti semua tentangku, senja, dan malam hari hingga bintang Cuma satu.
Suatu hari, aku duduk di atap rumah sejak senja datang untuk menunggu malam hingga bintang Cuma satu. Aku bertekad untuk menemukan jawabannya malam ini juga. Aku terduduk sambil memetik gitar. Benar-benar syahdu malam ini. Tak lama kemudian, aku meletakkan gitar dan mengambil buku kecil yang tergeletak di sebelahku. Aku mulai menulis di buku itu dan seperti biasa akan lama terhanyut hingga melupakan aktifitas yang lain.
Senja……
Terima kasih karena selalu menemaniku menanti malam. Terimakasih karena telah mengantarkanku menatap langit hingga bintang Cuma satu.
Aku bangga bisa menjadi orang yang mampu menunggu bintang-bintang lain pergi dan akhirnya dapat berkencan dengan satu bintang terindah.
Tapi aku sadar itu semu. Aku sadar itu semua maya. Tidak mungkin aku dapat berkencan dengan bintang sesungguhnya dalam arti manusia.
Aku menginginkan bintang yang Cuma satu itu menjelma menjadi sosok dia yang kutemui di tepi danau waktu itu.
Aku menginginkan bintang yang Cuma satu itu menjelma menjadi sosok dia yang tanpa sengaja bergumam tentang senja dan malam hari yang dapat membuatku melakukan ini semua…
Aku letih, buku itu kugeletakkan kembali di sampingku. Aku memutuskan untuk berkhayal saja sembari menunggu bintang Cuma satu. Belum sempat berkhayal terlalu jauh, entah naluri mana yang bekerja, reflek aku mengambil buku kecil itu dan membaca ulang apa yang telah kutulis sebelumnya. Tiba-tiba aku tersadar, bintang Cuma satu yang selalu kutunggu itu adalah dia, lelaki yang kutemui di tepi danau beberapa bulan lalu. Lelaki yang tanpa sengaja menggumamkan beberapa kata yang mampu menyihirku untuk melakukan ritual senja hingga malam dan menanti hingga bintang Cuma satu.
Ya Tuhan……. Mengapa baru sekarang aku menyadarinya? Aku tak mungkin memilikinya, aku tak mungkin bisa terus berjalan beriringan dengannya, karena dia akan memiliki seseorang yang lain, yang mungkin selalu menemaninya menikmati senja dan menunggu malam hingga bintang Cuma satu. Hhh…..aku rasa aku akan kehilangan dia. Dan aku yakin sekali atas itu.
***
Aku memutar kembali memori saat masih sering bercengkrama bersama dia. Setidaknya ini adalah ritual terakhirku. Setelah pertemuan tak sengaja dengannya itu, aku selalu menanti senja dan malam hingga bintang Cuma satu. Dimana dia selalu menceritakan keindahan senja dan malam hari hingga bintang Cuma satu dengan penggambaran yang benar-benar nyata buatku. Dimana dia selalu memberikan pandangan bahwa hampir semua permasalahan dapat kutinggalkan sejenak saat menikmati senja dan malam hari hingga bintang Cuma satu. Dan itu terbukti ampuh.
Bahwa aku mebenci pagi dan siang hari adalah benar, tetapi rasa benci itu sedikit berkurang saat pagi dan siang hariku kulalui bersama dia. Aku jadi sedikit bersemangat untuk bangun di pagi hari, karena akan bertemu dan bercengkrama dengan bintang yang akan menjadi mentari pada pagi dan siang hariku. Dia benar-benar mempengaruhi hidupku. Tidak terlalu hiperbolis jika kukatakan dia satu-satunya orang yang mampu menyelami pikiranku begitu dalam. Aku menganggapnya sebagai seorang “teladan” yang pantas aku contoh. Apakah itu terlalu hiperbolis???
Suatu waktu saat aku berjalan-jalan bersamanya, dia menceritakan suatu tempat yang indah untuk menikmati senja dan malam hari hingga bintang Cuma satu. Tempat itu di suatu kota kecil katanya. Dia pun berjanji untuk mengajakku ke sana. Aku bahagia sekali, aku merasa akan menikmati senja dan menanti malam hari hingga bintang Cuma satu yang nyaris sempurna.
Aku tak sabar menunggu saat aku dan dia bisa pergi ke tempat itu. Kira-kira dua minggu setelah janjinya, dia mengajakku ke tempat itu. Perjalanan tak terlalu panjang dan sama sekali tidak melelahkan. Sesampainya di tempat pemberhentian, waktu kami habiskan untuk berbincang tentang segala hal. Tanpa terasa senja telah memberikan sinyal kemunculannya. Kami sontak terdiam dan langsung terhanyut dalam dunia masing-masing. kegiatan seperti inilah yang kami sebut dengan autis.
Aku sangat menikmati malam ini. Ditambah dengan kehadiran dia, ritual menanti malam hingga bintang Cuma satuku terasa sangat berkesan. Aku menatap langit, memejamkan mata, lalu mulai menanti malam hingga bintang Cuma satu. Di sela penantian itu aku mencuri pandang ke bawah. Aku melihat bintang yang lain. Berkelap-kelip indah memberikan nuansa meriah.
“itu lampu-lampu yang berasal dari kota salam” dia bergumam seolah tahu apa yang sedang kupikirkan.
“indah sekali…….” Hanya itu kata-kata yang dapat kuucap untuk merespon pernyataannya tadi.
Tak terasa kami telah banyak menghabiskan waktu di tempat ini. Dia mengingatkanku untuk kembali menatap langit.
“sebentar lagi bintang yang lain akan pergi” secara implicit dia mengingatkanku atas langit kembali.
Aku hanya diam dan mengubah arah pandanganku. Waktu berlalu dalam diam. Tak lama kemudian yang kami tunggu-tunggu tlah tiba. Di langit hanya ada satu bintang.
Aku terkejut saat dia tiba-tiba berbicara.
“hey, kamu lihat? Di langit hanya ada satu bintang. Tapi bukankah kita berdua menginginkan bintang itu? Dan aku tak mau membagi bintang itu pada siapapun, aku ingin bintang yang utuh, yang nanti akan kubagi dengan orang yang juga utuh mengisi hidupku.”
ujarnya dengan nada sangat serius.
“mmm…. Kamu benar, berarti harus ada salah satu yang mengalah”
aku menjawab dengan tegar, padahal aku tahu, mungkin bintang itu akan dia persembahkan pada seseorang yang sangat berarti dalam hidupnya, sehingga dia tidak mau berbagi dengan orang lain, terlebih aku.
Kami menghabiskan malam itu dalam diam. Maaf, maksudku aku yang terlalu banyak terdiam.
Aku bingung. Mengapa aku merasa sakit hati mendengar kata-katanya tadi. Kata-kata jujur yang keluar dari bibirnya itu membuatku menangkap kesan bahwa ada seseorang yang sedang dia pikirkan. Tapi siapa?? Aku?? Orang lain?? Atau bahkan dirinya sendiri??
Hingga suatu hari aku memutuskan untuk tidak bertemu dengan dia lagi. Aku mulai menikmati senja dan menanti malam hingga bintang Cuma satu seorang diri di atap rumahku. Aku mencoba melupakan segala tentang dia. Tapi terasa sangat sulit buatku. Akhirnya aku memutuskan untuk mengingat senja dan menanti malam hingga bintang Cuma satu saja sebagai bagian dari perjalananku bersama dia.
***
Aku tersentak dari lamunan itu dan mulai beranjak, membereskan buku dan mengambil gitar lalu berdiri untuk meninggalkan atap rumah. Sejak malam itu, aku berjanji untuk tidak menikmati senja dan menanti malam hingga bintang Cuma satu lagi. Karena bintangku itu tidak akan dan tidak mungkin dapat mengencaniku. Aku akan menikmati perasaan ini, aku takkan memilikinya, tapi setidaknya aku pernah punya dia dalam setiap senja dan malam hari hingga BINTANG CUMA SATU.